1.
Di dalam Qur-an Rosm Utsmany penulisan
lafadz رحمة
huruf ta’nya ada yang ditulis dengan ta’ majruroh dan ada yang ta’
marbuthoh padahal artinya sama, apa alasannya? (Marhalah I’dadiyah)
Jawaban :
-
Tauqify
(sudah ketentuan dari Allah Swt. yang disampaikan melalui Nabi Saw.)
-
Kemu’jizatan Qur-an dari segi tulisan.
Penalaran
:
Al
Qur-an merupakan kitab yang terjaga dari pemalsuan berkat puji dan kebaikan
Allah Swt., betapapun upaya untuk melakukan hal itu datang silih berganti. Al
Qur-an merupakan kitab mukjizat yang di dalamnya terpadu segala keindahan,
ketelitian dan keseimbangan bahasa yang selaras dengan kedalaman dan kekayaan makna
serta kebenarannya. Tidak terbatas pada hal-hal itu saja, bahkan dalam
penulisannya pun al Qur-an senantiasa terjaga dari noda penyelewengan.
Penulisan
Al Qur’an bersifat tauqify, yaitu ditulis dibawah pengawasan Nabi Saw.
secara langsung atas perintah/petunjuk dari Alloh Swt. Sudah menjadi ketetapan
sejarah; pada zaman Nabi Saw. setiap turun sesuatu dari Qur-an beliau menyuruh
menulisnya dan menyuruh letakkan dalam surat ini pada urutan ini[1]. Jadi tegasnya arti
tauqify yaitu terbatas menurut apa yang diterima dari Rosululloh Saw. Tidak satu
tanganpun dari manusia yang ikut campur menentukan bentuk tulisan tersebut. (Mushaf
Murottal, hal. 373)[2].
Oleh
karena sifat tauqifiyah inilah kita tidak bisa menemukan alasan-alasan
bentuk tulisan, akan tetapi kita hanya bisa mencari dan mempelajari hikmah dan
rahasia dibalik penulisan tersebut. Sebab di balik keterbatasan (tauqifiyah)
itu, ternyata penulisan ini mengandung hikmah dan rahasia-rahasia yang akal
tidak bisa (sulit) menjangkaunya, adalah suatu rahasia yang Alloh khususkan
hanya pada Kitab mulia ini. Jadi mukjizat Al Qur-an juga terdapat pada susunan
perkataannya dan bentuk huruf-huruf ejaannya. Kalau bentuk tulisannya dirubah,
maka menjadi hilanglah mu’jizatnya (olehnya melemahkan musuh). Akan lebih mudah
musuh menyadur dan merusak kitab pedoman ummat islam[3].
Di
antara hikmah dan rahasia penulisan yang diterangkan oleh para ‘ulama adalah
dalam penulisan ta’ majruroh yang seharusnya menurut penulisan Arab
biasa (الإملاء العادي)
ditulis dengan ta’ marbuthoh, hal ini ternyata untuk menunjukkan bahasa
yang fasih menurut bahasa Thoyyi’[4].
2.
Kenapa di dalam Qur’an yang sama-sama
RU banyak perbedaan dalam masalah waqof dan washol-nya? (Jalaluddin)
Jawaban :
-
Pada umumnya waqof dan washol
dalam Al Qur-an merupakan masalah ijtihadi karena tidak ada ketetapan baku dari
Nabi, begitu juga peletakan tanda-tanda waqofnya, asalkan tidak merubah makna
dan menimbulkan salah pengertian maka diperbolehkan waqof atau washol
di manapun. Dan yang lebih tepat bagi kita adalah mengikuti RU yang sudah di-tashih
oleh ulama-ulama yang ahli dibidangnya.
Penalaran
:
Yang
dimaksud dengan RU seperti dijelaskan dalam buku Persiapan Membaca Al Qur-an
adalah bentuk-bentuk tulisan yang orisinil menurut aslinya tulisan al Qur-an
ketika diturunkan yang disepakati total oleh para Sahabat ketika mengadakan
pembukuan al Qur-an di zaman Kholifah ‘Utsman bin ‘Affan Ra. atas perintahnya.
Jadi RU adalah mengenai huruf-hurufnya saja yang polos dan harus baku tidak
boleh dirubah dan dikembangkan[5].
Adapun
tanda-tanda waqof dan penempatannya pada dasarnya hanya untuk menolong para
qori’ yang belum faham ma’na Qur-an yang dibaca. Jadi mengenai tambah
kurangnya/sedikit banyaknya tanda yang diterapkan boleh sedikit berbeda asal
berpedoman dengan kitab standar seperti kitab Manarul Huda fil Waqfi wal
Ibtida’. Karena ini kaitannya dengan tarkibnya kalam[6]. Sebagaimana keterangan di
dalam nadzom Jazariyyah :
وليس في القران من
وقف وجب # ولا حرام غير ما له سبب
Artinya
: dan di dalam al Qur-an semua tidak ada waqof yang wajib dan waqof yang haram,
begitu pula washol dan ibtida’nya, selama tidak ada sebab. Berarti kalau ada
sebab kadang bisa wajib, kadang bisa haram, melihat sebabnya. Kalau tidak
mengerti tidak apa-apa, hanya bodoh dan jelek[7].
Oleh
karena itu ada beberapa perbedaan tanda ataupun peletakannya antara RU cetakan
penerbit yang satu dangan yang lain, hal ini mungkin diantaranya dipicu perbedaan
ijtihad dewan pentashih satu penerbit/Negara dengan yang lainnya atau perbedaan
kitab refrensi yang digunakan. Sebagaimana keterangan di dalam salah satu
mushaf RU bertanda tajwid yang dikutip oleh KH. Maftuh Basthul Birri dalam
kitab beliau :
وأخذ بيان وقوفه
وعلاماتها مما قررته اللجنة في جلساتها التي عقدتها لتحديد هذه الوقوف على حسب ما
اقتضته المعاني التي ظهرت لها مسترشدة في ذلك بأقوال الأئمة من المفسرين وعلماء
الوقف والابتداء[8].
“Letak-letak waqof serta tanda-tandanya diambil dari keputusan
dewan dalam beberapa sidang yang sengaja digelar untuk menentukan waqof-waqof
yang sesuai dengan tuntutan ma’na dengan tetap mengacu pada pendapat para imam
ahli tafsir dan ahli waqof ibtida’.”
Maka
yang seharusnya kita dilakukan dalam menyikapi hal ini adalah kita tetap harus
mempelajari ilmu waqof washol itu. Atau setidaknya bacaan anda dalam waqof,
washol dan ibtida’nya hendaknya ditingkatkan dengan guru yang pandai dan
telaten merubah dan menepatkan serta memberi pengarahan tentang masalah ini,
dan jarang orang yang pandai dan telaten. Tapi kalau mau usaha, anda akan
meningkat dan lebih berbobot bacaan anda[9].
3.
Apakah yang harus kita lakukan ketika
mendengarkan orang membaca Qur-an tanpa menggunakan tajwid?
Jawaban :
Kita wajib mengingatkan dan atau
mencontohkan bacaan yang sebenarnya.
Penalaran :
Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah
masyarakat abad modern tak ubahnya seperti makan buah simalakama. Dilakukan
bisa rebut, ditinggalkan bisa semrawut. Dua pilihan yang sama-sama sulit dan
bisa membuat otak kusut. Dalam kitab Nihayah al Qul al Mufid disebutkan ; ada
tiga orang yang rentan dilaknat oleh al Qur-an ;
1.
Orang yang bacaannya betul-betul
menyimpang jauh dari ketentuan tajwid dan sampai merubah lafadz-lafadznya.
2.
Orang yang bacaannya bisa merusak dan
merubah makna.
3.
Orang yang membca al Qur-an namun
perbuatan sehari-harinya sangat jauh dari nilai-nilai al Qur-an.
Apabila
kita mengetahui orang yang membaca al Qur-an tanpa mengindahkan aturan
tajwidnya maka kita wajib untuk mengingatkan dan mencontohkan bacaan yang
sebenarnya, seperti yang tertera dalam kitab Ihya’ Ulum a; Din dalam bab
Munkarat al Masajid. Namun, permasalahan akan menjadi runyam apabila sudah
dikaitkan dengan factor eksternal. Apabila kita mengingatkan dia malah mutung
dan tak mau meneruskan bacaannya atau dia malah marah dan menganggap kita sok
pintar, misalnya. Dan ni membutuhkan kearifan serta kejelian kita dalam
bertindak. Amar ma’ruf nahi munkar memang sangar sulit. Tapi buakn hal mustahil
untuk diwujudkan.
Dalam
kitab Is’ad al Rofiq syarah Sullam at Taufiq juz I hal. 66 diterangkan
syara-syarat wajibnya amar ma’ruf nahi munkar :
1.
Tidak boleh membahayakan dan mengancam
diri, harta, kehormatan dan anggota keluarga kita.
2.
Tidak dikhawatirkan akan
terjadi/timbul mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dari mafsadah kemunkaran
yang kita cegah.
3.
Telah disepakati bahwa yang kita cegah
itu betul-betul sebuah kemunkaran.
Lantas
bagaimana kalau kita mendapati orang seperti di atas?. Kita pilah, jika orang
itu masih mungkin untuk belajar memperbaiki bacaannya maka tegakkanlah amar
ma’ruf nahi munkar dengan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Pertama, kita
beri tahu dia bahwa bacaannya kurang benar, kemudian kita praktekkan bacaan
yang benar bagaimana, dengan tetap menjaga sensitifitas perasaanya serta
norma-norma kesopanan yang ada. Dan jika dia sudah sangat rentan dan tidak
mungkin untuk memperbaiki bacaannya, maka kita biarkan saja sambil tetap
mencari celah untuk meluruskannya. Toh itu sudah sangat hebat untuk orang
seperti dia di era yang kemaksiatan sudah rata di mana-mana. Sekali lagi
dibutuhkan ketegasan, keberanian, mental baja, serta kearifan dan kebijaksanaan
dalam perintah kebajikan dan berantas kemunkaran di zaman yang banyak hal sudah
tidak karuan tanpa aturan[10].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar